BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Teori
Pengetahuan yang dikembangkan oleh Plato dan Descartes tentang Rasionalisme bahwa
dengan akal kita sudah dapat menemukan penegetahuan yang mutlak dan menyatakan
bahwa kita tidak akan menemukan pengetahuan yang pasti dalam pengalaman
Inderawi. Sebagai reaksi dari teori rasionalisme itu munculah teori Empiris
yang berpendapat bahwa pengalaman
inderawi tidak dapat menjelaskan tentang pengetahuan yang lebih jauh tentang
Dunia. Dari sinilah muncul aliran Positivisme. Aliran positivism dan
rasionalisme termasuk empirisme merupakan dua aliran yang bertentangan.
Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam
pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses
induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut
terbuka upaya penyangkalan/pembuktian salah (falsifikasi) yang secara terus
menerus sehingga dapat lebih dikokohkan.
Salah satunya adalah seorang Karl Raimund Popper, yang pada
tahun 1934 menggebrak dunia filsafat sains dengan bukunya The Logic of
Scientific Discovery. Dalam bukunya tersebut, Karl Raimund Popper
melakukan kritik terhadap kecenderungan metodologi sains di masa itu yang
didominasi oleh Positivisme. Dalam buku tersebut, alih-alih menekankan pada
prinsip verifikasi-pembuktian dengan fakta-fakta empiris untuk mendukung
sebuah teori sains, Karl Raimund Popper malah mengajukan sebuah gagasan
yang menarik mengenai falsifikasi. Falsifikasi adalah kebalikan dari
verifikasi, yaitu pengguguran teori lewat fakta-fakta.
B.
Rumusan
Masalah
-
Bagaimana
riwayat hidup Karl R. Popper ?
-
Bagaimana
Epistimologi Falsifikasi Karl R. Popper ?
C.
Tujuan
-
Mengetahui
riwayat hidup Karl R. Popper
-
Mengetahui
epistimologi Falsifikasi Karl R. Popper
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Karl R. Popper
Karl Reimund Popper adalah salah satu filsuf sains terbesar abad
ke-20 yang lahir di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli 1902 dan meninggal di
London, Inggris pada tanggal 17 September 1994 di usia 92 tahun akibat serangan
jantung. Ia merupakan anak bungsu dari orang tua kelas menengah berkebangsaan
Yahudi. Tetapi
tidak lama setelah mereka menikah mereka berdua dibabtis dalam gereja Protestan,
seperti halnya orang yahudi lainnya yang berasimilasi dengan masyarakat pribumi
Austria. Ayahnya, Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang sarjana hukum
dan pengacara yang sangat berminat pada filsafat, sosial, dan politik. Perpustakaannya
yang cukup luas mencangkup kumpulan karya filsuf-filsuf besar dan karya-karya
mengenai problem sosial. Sepertinya Karl popper mewarisi minatnya pada filsafat
dalam problem sosial dari sang ayah. Seperti
banyak keluarga di Wina, dalam keluarga Popper pun music memainkan peranan
penting dan khususnya ibunya amat berbakat pada music dan pandai bermain piano.
Jadi, tidak kebetulan juga kalau dalam reflesi filosofi Karl Popper nanti music
mendapat perhatian juga.
Pada umur 16 tahun Karl Popper meninggalkan sekolahnya Realgymnasium
dengan alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu pada tahun
1918 ia menjadi pendengar bebas pada Universitas Wina. Dia tidak mendaftar
secara formal di universitas itu. Baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai
mahasiswa resmi.
Karl Popper menjadi anggota perkumpulan para murid sekolah menengah yang
beraliran sosialis. Tetapi ia juga sering datang di pertemuan mahasiswa
sosialis dengan pembicara dari partai sosial demokrat maupun dari partai komunis.
Selama dua atau tiga bulan dalam tahun 1919 ia menganggap dirinya seorang
komunis. Namun, dengan cepat pula ia kecewa dengan kaum komunis dan Marxisme
dikarnakan penembakan terhadap segerombol sosialis muda. Hal ini terjadi akibat
hasutan dari kaum komunis untuk membantu beberapa orang komunis lainnya melarikan
diri dari ruang tahanan di Markas Polisi di Wina. Dalam peristiwa itu beberapa
orang sosialis dan komunis tewas. Popper merasa bersalah akan kejadian
tersebut. Karena sebagai seorang komunis ia merasa ikut bertanggung jawab
terhadap peristiwa itu.
Dengan begitu pada umur 17 tahun, Popper menjadi seorang
anti-Marxis. Dan perjumpaannya dengan Marxisme, diakui olehnya sebagai satu di
antara peristiwa penting dalam perkembangan intelektualnya. Hal itu mengajarkan
kepadanya beberapa hal yang tak pernah ia lupakan. Dari itu ia menarik pelajaran
tentang kebijaksanaan ucapan Socrates (Saya tahu bahwa saya tidak tahu) ”Ia
membuatku menjadi seorang fallibilis dan menekankan padaku nilai kejatmikaan
intelektual. Dan 1a membuatku sangat menyadari Perbedaan antara pikiran
dogmatis dan kritis” kata Popper.
Dalam otobiografinya ia bercerita bahwa ia mengikuti aneka macam
kuliah : tentang sejarah, kesusastraan, psikologi, filsafat, bahkan tentang
ilmu kedokteran. Tetapi sesudah beberapa waktu ia memutuskan untuk tidak ikut
kuliah kecuali matematika dan fisika toeritis karena ia merasa akan lebih
berguna jika membaca buku-buku para dosen dari pada harus duduk di bangku
sckolah mengikuti pengajaran mereka. Pada tahun 1928 ia meraih gelar P.hD dalam
bidang filsafat dengan suatu disertasi tentang Zur Methodenfrage der
Denlepsychologie (Masalah metode dalam psikologi pemikiran).
Pada tahun yang sama yakni tahun 1919 Popper terkesan pada pemikiran
Einstein tentang gaya berat dan kosmologi baru yang merupakan perbaikan atas
Newton. Ia
mendengar ceramah Einstein di Wina. Ia terpukau dengan sikap Einstein terhadap
teorinya sendiri. Einstein menganggap bahwa teorinya tidak dapat dipertahankan
kalau gagal dalam uji coba tertentu. Sikap ini yang berlainan sekali dengan
sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi (pembenaran)
terhadap teori-teorinya. Jadi pada akhir tahun 1919, Popper sampai pada
kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis, yang tidak mencari
pembenaran melainkan harus dengan pengujian yang dapat menyangkal teori yang
diujinya. Gagasan inilah yang berperan penting dalam buku pertamanya Logik
der Forschung yang terbit pada tahun 1934.
Popper tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina dan tidak pernah
juga menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh kelompok tersebut. Tapi
ia kenal banyak dengan anggota dari Lingaran Wina yang bekerja di universitas
dan beberapa diantara mereka memiliki kontak pribadi seperti Viktor Kraft dan
Herbert Feigl. Popper sendiri menganggap dirinya sebagai salah seorang kritikus
yang paling tajam terhadap gagasan-gagasan Lingkaran Wina.
Filsafat pengetahuan Popper pertama kali terbit pada tahun 1934 adalah Logile der Forschung
(Logika penelitian). Sebetulnya karya ini merupakan ringkasan dari suatu buku
dalam dua jilid, sebab penerbit tidak bersedia menerima buku setebal itu.
Sehingga buku yang dari tahun 1934 itu baru diterbitkan dalam bahasa inggris pada
tahun 1959 dengan judul The Logic of Scientific
Discovery dengan beberapa tambahan dan diterjemahan oleh Popper sendiri. Buku tersebut disambut baik sampai di luar
perbatasan Austria. Dengan begitu Popper menjadi seorang filsufternama. Ia mendapat
banyak undangan untuk memberi ceramah atau kuliah di luar negeri dan pada tahun
1935 dan 1936.
Pada bulan Maret tahun 1938 tentara Jerman yang berada di bawah
pimpinan Hitler pun berhasil menduduki Austria. Karena peristiwa tersebut, Popper
pun pindah keluar negeri. Pada tahun I937 ia mulai bekerja pada universitas Di
Christchurch, Selandia Baru. Disinilah
pada tahun 1945 ia menerbitkan dua buku
karangannya dalam bahasa inggris terkait tentang Elsafat sosial dan politik.
Yang pertama berjudul The Poverty of Historicism dan yang kedua meliputi
dua jilid yang berjudul The Open Society and its Enemies. Ada hubungan
erat antara dua karya ini. The Poverty of Historicism merupakan suatu
pcrcobaan untuk mcnerapkan gagasan-gagasannya tentang metode ilmiah pada ilmu
pengetahuan sosial. Sedangkan buku kedua, The open Society and its Enemies
memberi analisa dan kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh yang menurut dia
termasuk historisismc yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Sesudah perang dunia kedua selesai, Popper diangkat sebagai dosen
di London School of Economics, sebuah institut yang berada di bawah naungan
Universitas London. Di sini ia mempersiapkan suatu buku yang menguraikan perkembangan
pemikirannya sejak buku pertamanya di
tahun 1934. Buku ini diharapkan terbit pada tahun 1954 dengan rancangan judul Postcript
: After Twenty Years. Tetapi karena waktu itu ia mengalami penyakit mata,
buku ini tidak sampai terbit. Baru pada tahun 1982 karya ini diterbitkan dalam tiga
jilid, masing-masing berjudul : Realism and the Aim of Science, The Open
Universe: an Argumentfor Indeterminism, dan Quantum Theory and the
Sthism in Physics.
Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai
berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Open Society and Its
EnemiesI dan II (1945); The Logic of Scientific Discovery (1959); Conjectures
and Refutations: The Growt of Scientific Knowledge An Evolutionary Approach (1963);
The Philosiphy of Karl Popper (1974); Unended Quest; dan The
Self and Its Brain.
B.
Epistimologi
Falsifikasi Karl R. Popper
Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, oleh beberapa penulis
pemikiran Popper ini sering dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu masalah
induksi, masalah demarkasi, dan masalah dunia ketiga. Ia memang tidak
sependapat dengan keyakinan tradisional tentang “induksi”, dan menyatakan bahwa
tak ada sejumlah contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Begitu pula
dengan masalah verifikasi yang diyakini oleh lingkaran wina. Bagi dia falsifikasi atau juga disebut
falsifiabilitas adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat, antara ilmu dengan
yang bukan ilmu. Secara historis, Popper lebih dahulu memecahkan problem
demarkasi (sekitar tahun 1919) dari pada problem induksi. Namun karena setelah
kita memecahkan problem induksi dulu baru bisa melihat pentingnya problem
demarkasi,
maka dalam pembahasan ini problem induksi dibahas terlebih dahulu.
1.
Masalah
Induksi dan Kritik Karl Popper
Secara historis metode induksi sudah
dimulai oleh Aristoteles. Ia menggunakan istilah induksi untuk mengacu ke
proses pemikiran dengan bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal yang khusus
untu menyimpulakan pengetahuan yang umum. Pandangan
ini sudah diterima secara luas dan sebagai penanda dari ilmu ilmu empiris. Untuk
melihat operasional metode induksi beserta syarat-syaratnya telah dicontohkan
oleh Thomas Henry Huxley berikut ini:
“Anggaplah kita mengunjungi
warung buah-buahan karena ingin membeli apel. Kita ambil sebuah, dan ketika
mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel
itu keras dan hijau. Kita ambil sebuah yang lain, itu pun keras, hijau, dan
masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi, belum mencicipinya,
kita memerhatikannya dan terbukti yang itu pun adalah keras dan hijau, dan
seketika itu kita beritahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang itu
pun pasti masam, seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi”.
Kalau
dirumuskan penalaran diatas menurut Hulxley sebagai berikit :
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
Indikasi seperti ini sesuai dengan
definisi Aristoteles yaitu proses peningkatan dari hal yang bersifat individual
ke hal yang bersifat umum. Induksi seperti ini disebut dengan generalisasi. Akan
tetapi penalaran pembeli tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk lain sebagai
berikut (analogi induktif) :
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 keras dan hijau.
Salah satu tema pertama yang menarik
dalam pemikiran Popper ini adalah pendapatnya tentang masalah induksi dalam
ilmu pengetahuan alam. Dalam pemikiran modern selalu dikatakan bahwa tugas ilmu
pengetahuan modern ialah merumuskan hukum-hukum yang bersifat umum dan mutlak
perlu. Misalnya seperti contoh sederhana "semua apel keras dan hijau
adalah masam" merupakan suatu hukum. Lalu bagaimana hukum ilmiah serupa
itu sampai terbentuk ?. Jawaban tradisional yang diberikan oleh para teoretisi
ilmu pengetahuan ialah bahwa hukum itu dihasilkan oleh suatu proses induksi. Artinya,
dari sejumlah kasus yang cukup besar (apel-apel yang keras dan berwana hijau
memiliki rasa masam) dapat disimpul kan bahwa dalam keadaan yang tertentu
gejaia yang sama selalu dan di mana-mana akan terjadi demikian. Dari sejumlah
kasus konkrit disimpulkm suatu hukum yang bersifat umum. Metode induktif ini
dijalankan dengan observasi dan eksperimentasi. Pendek kata, metode ini
berdasarkan fakta-fakta.
Bagi para teorerisi, teori induksi
ini bukan tanpa kesulitan. Filsuf yang pertama menggarisbawahi
kesulitan-kesulitan itu adalah orang Skodandia yang bemana David Hume
(1711-1776). la menekankan bahwa dari sejumlah fakta – betapapun besar
jumlahnya – secara logis tidak pernah dapat disimpulkan suatu kebenaran umum.
Tidak pernah ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang sampai sekarang selau
berlangsung dengan cara yang sama, besok juga akan terjadi dengan cara
demikian.
Misalnya tidak ada kepastian logis bahwa besok pagi matahari akan terbit. Kita berpikir
demikian karena suatu kecenderungan psikologis, bukan karena suatu keharusan
logis. Kalau memang demikian halnya, maka seluruh ilmu pengetahuan bertumpu
pada suatu prinsip (yakni induksi) yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh
kebanyakan ilmuwan, Situasi ini tidak diambil pusing, karena ahli-ahli ilmu pengetahuan
sama sekali tidak terganggu oleh ketidakpastian teoretis tadi. Tetapi bagi
Filsafat ilmu pengetahuan di sini terletak suatu masalah yang sampai sekarang
belum terpecahkan.
Karl Popper mengakui bahwa ia
mendekati problem induksi melalui Hume. Popper merasakan benar bagaimana Hume
sangat tepat ketika menunjukan bahwa metode induksi tidak dapat dijustifikasi
secara logis. Meskipun Popper mengakui penolakan Hume terhadap metode penalaran
logis dan konklusif, namun ia sangat tidak puas dengan penjelasan psikologis
Hume ke dalam istilah adat atau kebiasaan. Dalam analisis Popper, kritik yang
dilontarkan Hume terhadap metode induktif lebih bersifat psikologis ketimbang
menyungguhkan sebuah teori filosofis. Sebab Hume berusaha menguraikan sebuah
penjelasan sebab-akibat berdasarkan sebuah fakta psikologis.
Dalam bukunya Logika Penemuan Popper
mengemukakan bahwa : “alasan utama saya untuk menolak logika induktif tepatnya
adalah bahwa ia tidak dapat memeberikan tanda perbedaan yang jelas untuk
karakter empiris, non-metafisik, dari karakter sistem teoritis, atau dengan
kata lain, bahwa ia tidak memberikan 'kriteria demarkasi' yang cocok”.
Berdasarkan ketidakpuasan tersebut,
popper melakukan kritik terhadap metode induktif yang dia formulasikan secara
filosofis-empiris. Popper telah berhasil menyodorkan suatu pemecahan bagi
masalah induksi dan mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu
pengetahuan. Menurut dia suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena
sudah dibuktikan, melainkan karena dapat diuji. Ucapan seperti ”Semua logam
akan memuai kalau dipanaskan” dapat dianggap ilmiah, kalau dapat diuji dengan
percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Seandainya kita dapat menunjukkan
satu jenis logam yang tidak memuai setelah dipanaskan, maka ucapan itu ternyata
tidak benar dan harus diganti dengan ucapan lain yang lebih tepat.
Perlu diperhatikan bahwa keputusan
yang positif hanya dapat mendukung teori sementara saja (karena bisa saja
terjadi yang berikutnya adalah negative). Jadi selama sebuah teori dapat
melalui pengujian-pengujian terperinci dan tidak dikalahkan oleh teori lain
dalam proses kemajuan ilmiah, kita dapat mengatakan bahwa teori tersebut telah
terbukti kebenarannya atau dikuatkan/dikoroborosikan oleh pengalaman masa lalu.
Dalam buku Logika Penemuan Popper mengatakan bahwa : “Saya tidak pernah
menganggap bahwa kita bisa berdebat dari kebenaran pernyataan tunggal untuk
kebenaran teori. Saya tidak pernah menganggap bahwa dengan kekuatan kesimpulan
yang sudah diverifikasi, teori dapat ditetapkan sebagai benar,
atau bahkan hanya sebagai mungkin.”
Secara singkat itulah yang disebut
Popper sebgai the thesis of renatability (suatu ucapan atau hipotesa
bersifat ilmiah kalau secara prinsipial terdapat kemungkinan untuk
menyangkalnya). Atau dengan perkataan lain, perlu adanya kcmungkinan untuk
menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan menakuti kritik. Sebaliknya,
ia sangat mengharapkan kritik, sebab hanya melalui jalan kritik ilmu
pengetahuan dapat maju.
Untuk mencapai pandangan ini, Popper
menggunakan suatu kebenaran logis yang sebenarnya sederhana sekali. Dalam perkataan
Popper sendiri: “Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih – berapapun
jumlahnya – orang tidak dapat sampai pada teori bahwa semua angsa berwarna
putih. Tetapi cukuplah satu obsenvasi terhadap seekor angsa hitam untuk
menyangkal teori tadi”.
Pandangan tentang ilmu pengetahuan
yang berdasarkan pada metode induktif sebenarnya berusaha membuktikan bahwa
semua angsa berwarna putih. Sedangkan Popper beranggapan bahwa ilmu pengetahuan
harus berusaha mencari satu ekor yang tidak berwarna putih. Selama angsa hitam
itu belum ditemukan, maka pernyataan “Semua angsa bcrwama putih” dapat dianggap
benar. Dengan pendekatan ini Popper membuka perspektif baru bagi ilmu
pengetahuan, yang sama sekali berlainan dmgan perspektif yang berdasarkan
konsepsi induksi.
Berulang kali Popper menjelaskan
bahwa fisika baru Einstein telah menghantarkannya pada konsepsi tentang ilmu
pengetahuan yang dilukiskan tadi. Sebelumnya sudah lebih dati dua abad dunia
ilmiah dikuasai oleh pandangan fisika Newton. Banyak sekali penemuan ilmiah
telah terjadi berdasarkan fisika Newton itu. Akhirnya semua ilmuwan sudah yakin
akan kebenaran fisika Newton. Sebenarnya fisika ini sudah dinyatakan dengan
seribu satu cara.
Namun demikiam pada awal abad kita
ini Einstein mengemukakan suatu fisika baru. Semua fakta yang telah diterangkan
oleh fisika Newton dapat diterangkan pula dalam rangka fisika Einstein,
ditambah lagi beberapa fakta yang didiamkan oleh Newton. Sesudah diskusi beberapa
waktu, para ahli sepakat menerima fisika Einstein lebih memuaskan daripada
fisika lama Newton untuk menerangkan gejala-gejala fisis dalam dunia kita. Bagi
Popper, perkembangan ini merupakan contoh paling jelas yang memperlihatkan
bagaimana cara bertumbuhnya ilmu pengetahuan. Suatu
teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif. Lebih baik dikatakan kita
semakin mendekati kebenaran, karena teori-teori kita menjadi lebih terperinci.
Selalu kita harus rela meninggalkan suatu teori, jika muncul teori lain yang
ternyata lebih memuaskan untuk mengerti fakta-fakta.
2.
Masalah
Demarkasi dan Rasionalisme Kritis
Proses
pemikiran Popper selanjutnya adalah berupaya untuk mengkritisi problem demarkasi dalam wacana
saintifik. Ia hendak menyelidiki sekaligus membedakan antara sains sejati dengan
sains semu, atau antara sains dan metafisika. Menurut Bertens, Popper menyuguhkan
kriteria demarkasi antara sains dengan metafisika sebagai kritik terhadap para
filsuf aliran neopositivisme dari Iingkaran Wina, Austria. Salah satu hal yang
banyak merepotkan para anggota Lingkungan Wina ialah percobaan untuk merumuskan
apa yang disebutnya “prinsip verifikasi”, artinya prinsip yang memungkinkan
untuk membedakan antara ilmu pengetahuan empiris dan metaflsika.
Dalam buku
Logika Penelitian dan karangan-karangan lain Popper mengkritik usaha yang
dilakukan oleh Lingkaran Wina. Menurut dia, usaha Lingkaran Wina tersebut masih
berkaitan erat dengan konsepsi tentang ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi
induksi. Beberapa unsure kritis yang dikemukakan oleh Popper adalah sebagai
berikut :
Pertama, ia menekankan bahwa dengan digunakannya prinsip verifikasi tidak
pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam
ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Tetapi kalau begitu, harus
diakui juga bahwa – seperti halnya dengan metafisika – seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum
umum) tidak bermakna!. Kedua, berdasarkan prinsip verifikasi metafisika
tidak bermakna. Tetapi dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa acap kali ilmu
pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metaflsika atau mistis tentang dunia
(sebagai contoh boleh disebut gagasan metaflsis seperti atomisme Leukippos dan
Demokritos). Suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna, tetapi dapat
benar juga, biarpun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Ketiga,
untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu kita
harus mengerti ucapan atau teori itu. Tetapi bagaimana kita dapat mengerti
suatu teori, jika teori itu tidak mengandung makna? Karena alasan-alasan serupa
itu Popper menolak usaha neopositivisme untuk menetapkan suatu prinsip
verifikasi.
Perlu ditambah
lagi bahwa dalam hal ini maksud Popper sering kali salah dimengerti. Kritiknya
sering kali ditafsirkan bukan sebagai penolakan melainkan sebagai koreksi saja
atas prinsip verifikasi dari neopositivisme atau positivism logis. Kalau begitu, orang
berpikir bahwa koreksi Popper ialah digantikannya prinsip verifikasi dengan prinsip
falsifikasi.
Jadi bagi Popper, problemnya ialah apa yang disebutnya masalah demarkasi (the
problem of demarcation): Bagaimana kita dapat menarik garis pemisah antara
bidang ilmiah dan bidang nonilmiah, dan antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu
pengetahuan. Atas pertanyaan itulah ia menjawab bahwa suatu teori atau ucapan
bersifat ilmiah, kalau terdapat kemungkinan prinsipiil untuk menyatakan
salahnya. Itulah yang dimaksud sebagai “prinsip falsifiabilitas”. Suatu teori
yang secara prinsipiil mengeksklusikan setiap kemungkinan untuk mengemukakan
suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu, menurut Popper pasti tidak
bersifat ilmiah.
Sementara bagi
positivisme logis masalah demarkasi ialah: Bagaimana kita dapat menarik suatu
garis pemisah antara ucapan-ucapan yang bermakna dan ucapan-ucapan yang tidak
bermakna. Dan dengan bantuan prinsip verinkasi mereka menjawab bahwa, selain
dari tautologi-tautologi (yaitu ucapan-ucapan logika dan matematika) hanyalah
bermakna ucapan-ucapan ilmu pengetahuan empiris, semua ucapan lain – yang
mereka singkatkan dengan nama “metafisika” – tidak bermakna.
Peru dicatat
bahwa menurut pendirian Popper ini bukan saja ucapan-ucapan metafisis
dinyatakan non-ilmiah, tetapi juga misainya astrologi atau ilmu nujum – yang
tentu berpretensi mempunyai dasar, empiris – dan lebih penting lagi,
teori-teori yang sepintas lalu nampaknya ilmiah seperti psikoanalisa Sigmund
Freud, psikolog individual Alfred Adler,dan tilsafat sejarah Karl Marx
(teori-teori yang ramai dibicarakan di Wina sewaktu Popper masih muda).
Teori-teori semacam itu secara sistematis menyingkirkan setiap kemungkinm untuk
mengadakan rejictation. Teori-teori itu berpotensi dapat menerangkan
segala scsuatu, termasuk juga penolakan terhadap teori-teori itu. Seorang
pengikut Freud akan mengatakan bahwa para penentangnya tidak mau menerima
ajaran psikoanalisa, karena mereka dikuasai oleh resistensi tak sadar. Demikian
pun seorang Marxis akan menjelaskan bahwa kritik yang diajukan melawan ajaran
mereka disebabkan karena para kritisi masih diresapi oleh prasangka-prasangka
kelas borjuis. Itu tidak berarti bahwa Popper menolak teori-teori itu sebagai sesuatu
yang tak benilai, apalagi sebagai tak bermakna. Dalam hal ini ia tentu lebih
positif terhadap psikoanalisa daripada terhadap marxisme.
Akhirnya beleh
ditambah lagi bahwa Popper bukan saja mengeritik beberapa pendirian positivism
logis, melainkan juga aliran yang mengganti positivism logis di Inggris, yaitu
falsafat analitis yang mencari inspirasi pada Wittgenstein II (yang seperti
Popper besasal juga dari Wina dan mengajar di Inggris tetapi konsepsi fllsafat
mereka berdua sangat berbeda). Menurut Popper filsafat tidak beleh membatasi
diri pada penjelasan kata-kata saja. Filsafat harus berbicara tentang realitas,
tentang dunia. Bahasa berparan sebagai alat dan sebuah alat harus dipakai untuk
membuat sesuatu.
Filsafat analitis diibaratkan oleh oleh Popper sebagai orang yang terus-menerus
membersihkan kacamatanya, tetapi tidak pernah menggunakannya untuk melihat.
Kalau nama
"neopositivism” atau ”positivism logis” pasti tidak cocok untuk
menunjukkan pemikiran Popper, maka seharusnya kita pakai nama apa untuk
filsatnya?. Popper sendiri mengusulkan ”rasionalisme kritis", suatu
istilah yang terdiri dari dua unsur yang sama sekali hakiki bagi Popper, yaitu
”rasio” dan ”kritik". Menurut dia salah satu cara terbaik untuk
mempraktekkan sikap rasional ialah dengan selalu rela menerima kritik dan
senantiasa mengeritik dirinya sendiri. Sikap ini paling baik diungkapkau dengan
nama ”rasionalisme kritis”.
Rasionalisme
kritis atau sikap kritis inilah yang dikontraskannya dengan sikap dogmatis,
yang akhirnya bisa membuka jalan bagi sains sejati dan bagi ilmu-ilmu lainnya.
Jika sikap kritis bisa kita identiflkasi dengan sikap saintiflk yang menghasilkan
sains hakiki, maka sikap dogmatis bisa kita nisbahkan kepada sesuatu yang kita
tuliskan dengan saintik semu. Oleh Zaprulkan ia menurunkan beberapa tesis
pemikiran rasionalisme kritis, atau sikap kritis saintiflk Karl Popper dari
beberapa karyanya:
Pertama, tidak ada sumber-sumber puncak pengetahuan. Setiap sumber
pengetahuan dan setiap saran bersifat terbuka terhadap pengujian kritis. Kedua,
secara kuantitatif maupun kualitatif sumber pengetahuan kita yang paling
penting, sebagai bagian dari pengetahuan bawaan adalah tradisi. Ketiga,
pengetahuan tidak dapat mulai dari kehampaan – dari sebuah tabula rasa, dan
tidak juga dari observasi. Keempat, baik observasi maupun akal bukanlah
sebuah otoritas. Intuisi intelektual dan imajinasi barangkali merupakan alat
paling penting, walaupun keduanya tidak dapat diandalkan keduanya mungkin dapat
menunjukkan sesuatu yang jelas, namun keduanya juga bisa menyesatkan kita. Kelima,
konsekuensi selanjutnya : setiap solusi yang telah ditemukan dari sebuah problem
akan memunculkan problem-problem baru yang belum terjawab. Semakin banyak kita
mempelajari tentang dunia, semakin dalam pembelajaran kita. Keenam,
tidak ada otoritas manusia yang dapat menetapkan kebenaran secara mutlak.
Kebenaran merupakan proses pencarian yang mesti kita upayakan secara tiada
henti. Bukan pada otoritas orang-orangnya, melainkan kepada kebenaranlah kita
harus menyerahkan diri.
Pada titik
inilah, sebagaimana telah disinggung di awal pembahasan, bahwa pemikiran
fundamental Popper adalah cerminan dari sikap refleksi diri, sikap kritis
terhadap diri sendiri, dan sikap terbuka terhadap segala bentuk
kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak mengejutkan bila Popper mengidentiflkasi
dirinya dan pemikiran filosofis saintikanya dengan istilah-istilah seperti
falsifikasionis, sebagai negativis, filsuf kritis, serta rasionalisme kritis
dan sikap kritis. Semua istilah-istilah tersebut melukiskan karakter
fundamental pemikiran Filosoflsnya secara luas.
3.
Prinsip
Falsifikasi Karl. Popper
Sebagaimana disebutkan dalam uraian
pendahuluan di atas bahwa meski Popper banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan
para filosuf yang tergabung di lingkaran Wina atau kaum positivism logis, namun
ia tidak sependapat dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama
terkait dengan tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan dunia
ketiga. Dalam masalah induksi, Popper tidak sependapat dengan penerapan
keabsahan generalisasi yang didasarkan pada prinsip induksi. Misalnya, “Apabila
sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila
semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki
sifat B”.
Proses induksi melalui observasi
seperti inilah yang dipandang oleh kaum positivisme logis sebagai prinsip
pembentukan ilmu atau pengetahuan. Proses induksi ini pula yang dijadikan untuk
menciptakan hukum umum dan mutlak berdasarkan kriteria kebermaknaan (meaningfull)
dan ketidakbermaknaan (meaningless). Bagi kaum positivisme logis
kebenaran suatu teori umum dapat ditentukan dan dibuktikan melalui prinsip
verifikasi, yakni ditentukan kebermaknaan dan ketidakbermaknaannya berdasarkan
kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris.
Selanjutnya proposisi-proposisi ilmu
atau pengetahuan tersebut dipandang ilmiah, selain dibangun berdasar prinsip
induksi melalui eksperimen atau observasi, juga jika dipandang memiliki
kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan.
Suatu pengetahuan adalah ilmiah, misalnya apabila seorang ahli astronomi
dapat meramalkan kapan akan terjadi gerhana bula berikutnya, atau bila seorang
ahli fisika dapat menjelaskan mengapa titik mendidih air ti tempat yang tinggi
lebih rendah daripada di tempat yang normal. Secara sederhana, kebenaran atau
keilmiahan suatu pengetahuan atau ilmu.
Gambaran ilmu seperti yang
digambarkan oleh kaum positivism logis, atau induktifis ini memberi penegasan
yang tampak meyakinkan mengenai sifat dari suatu ilmu atau pengetahuan, yakni
selain dayanya yang mampu meramalkan dan menjelaskan, juga adanya sifat keobyektifan
dan reliabilitasnya yang lebih unggul dibanding jenis-jenis ilmu atau
pengetahuan yang lain. Karena itu, wajar jika gagasan mereka ini begitu
meyakinkan dan memiliki penganut yang begitu besar.
Akan tetapi bagi Popper suatu teori
atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak dipandang bersifat ilmiah hanya
karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi seperti anggapan mereka,
tetapi karena dapat diuji dengan melalui berbagai percobaan sistematis untuk
menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau suatu teori dapat bertahan melawan
segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin
diperkokoh. Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika
teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya.
Selanjutnya Popper menegaskan bahwa
setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan
sementara, tidak akan pernah ada kebenaran pasti. Setiap teori selalu terbuka
untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat.
Terkait hal ini, ia lebih suka memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang
teori, hanya semata-mata didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia menegaskan
bahwa suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia
memiliki kemungkinan untuk menyangkalnya.
Jika dalam pandangan kaum
Positivisme kriteria kebenaran suatu ilmu atau teori didasarkan pada kriteria
dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris melalui konfirmasi atau
verifikasi, maka tidak demikian halnya menurut Popper. Kemudian Popper
menawarkan gagasan falsifikasi sebagai penentu demarkasi antara
proposisi atau teori yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Gagasan tentang falsifikasi
inilah yang oleh dirinya dijadikan sebagai ciri utama proposisi atau teori
yang ilmiah.
Penerapan falsifikasi seperti ini berdampak pada hakekat perkembangan
ilmu pengetahuan. Menurut Popper, kemajuan ilmu pengetahuan tidak bersifat
akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat adanya eliminasi yang
semakin ketat terhadap kemungkinan salahnya.
4.
Teori
Tentang Dunia Ketiga
Selain persoalan induksi dan
demarkasi sebagaimana dijelaskan di atas, Popper juga membicarakan tentang
masalah dunia ketiga. Yang dimaksud dengan istilah dunia ketiga di sini bukan
dalam pengertian politik, tetapi epistemologis. Artinya Popper membedakan realitas
menjadi apa yang dia sebut sebagai; dunia kesatu yang berupa kenyataan-kenyataan
fisik yang ia sajikan kepada panca indra, dunia kedua yang berupa segala
kejadian dan kenyataan psikhis dalam diri manusia; dan dunia ketiga yang
berupa hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerjasama antara dunia
kesatu dan dunia kedua serta seluruh bidang kebudayaan, seni,
metafisika, agama, dan lainnya.
Menurut Popper, dunia ketiga ini
hanya ada selama dihayati yakni dalam kegiatan studi yang sedang berlangsung
seperti membuat karya atau penelitian, dalam kegiatan membaca buku, dalam ilham
yang sedang mengalir dalam diri seorang seniman atau penggemar seni yang
mengandaikan adanya suatu kerangka. Setelah penghayatan seperti itu, semuanya
langsung mengendap dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya
seni, dan seterusnya. Sehingga dunia ketiga meliputi seluruh cakrawala
kebudayaan manusia. Dengan demikian, apa yang telah dihayati terkait keberadaan
dunia ketiga, menjadi mengendap ke dalam dunia kesatu, dan akan muncul kembali
ke dalam dunia ketiga setelah melalui perhatian di dunia kedua. Dalam pandangan
Popper, dunia ketiga memiliki kedudukan dan otoritasnya sendiri dan tidak
terikat oleh dunia kesatu ataupun dunia kedua.
Tetapi Popper tidak mau menganggap
dunia ketiga ini sebagai semacam dunia Idea gaya Plato. Seperti yang dijelaskan
diatas ia beranggapan bahwa dunia ketiga merupakan buah hasil aktivitas rob
manusiawi. Kita manusia menciptakan obyek-obyek dari dunia ketiga, tetapi
setelah dihasilkan dunia ketiga ini berdiri sendiri. Jika
kita menerima adanya dunia ketiga, maka menurut Popper terbukalah banyak
perspektif baru dalam filsafat, khususnya epistimologi. Filsafat pengetahuan
sampai sekarang terlalu terpusatkan pada dunia kedua. Menurutnya studi tentang dunia ketiga dapat
menyumbang banyak untuk memahami lebih baik tentang dunia kedua, sedangkan
studi tentang dunia kedua tidak menghasilkan banyak pemahaman untuk mengerti
wilayah dunia ketiga.
Melalui pemikirannya tentang dunia ketiga seperti ini, tampaknya
Popper ingin menghindari dua hal yang ekstrim, yakni pandangan obyektifisme
yang memandang hukum alam ada pada kenyataan fisik dan pandangan subyektifisme
yang beranggapan bahwa hukum alam adalah dimiliki dan dikuasai oleh manusia.
Menurutnya, manusia terus bergerak semakin mendekati kebenaran. Melalui proses
falsifikasi, manusia akan menemukan kesalahan yang ada pada sebuah teori atau
ilmu, lalu teori atau ilmu yang salah akan ditinggalkannya dan digantikannya
dengan yang baru. Demikian seterusnya hingga aktifitasnya semakin mendekati
kepada kebenaran.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Falsifikasi merupakan metode yang
digunakan oleh Karl R. Popper untuk menolak gagasan positivism dari kaum lingkaran
Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan Popper menolak ini adalah karena
dalam logika induktif
ia tidak dapat memeberikan tanda perbedaan yang jelas untuk karakter empiris,
non-metafisik, dari karakter sistem teoritis, atau dengan kata lain, bahwa ia
tidak memberikan kriteria demarkasi yang cocok. Oleh beberapa penulis pemikiran Popper sering dikelompokkan menjadi
tiga tema, yaitu masalah induksi, masalah demarkasi, dan masalah dunia ketiga. Dalam
kaitannya dengan problem filsafat ilmu, oleh beberapa penulis pemikiran Popper
ini sering dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu masalah induksi, masalah
demarkasi, dan masalah dunia ketiga. Secara historis, Popper lebih dahulu
memecahkan problem demarkasi (sekitar tahun 1919) dari pada problem induksi.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan pembaca tentang Epistimologi Falsifikasi dari Karl Raimund Popper,
dan sekiranya ada kesalahan kata mohon kemakluman pembaca. Selain itu penulis
juga meminta kritik dan saranya yang sifatnya membangun terhadap evaluasi
penulis selanjutnya.
Daftar Pustaka