Pages

Friday, August 9, 2019

contoh Respon Pepper Kuliah


RESPONSE PAPER INDIVIDU
Nama                           : Pasiska

RISALAH MUHAMMAD
Ulumul Quran Zaman Kita : DR. Ingrid Mattson

Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk umat manusia, dalam hal itu ada sebuah makna besar kenapa Al-Qur’an harus diturunkan kepada Nabi Muhammad, tentu saja hal itu merupakan sebuah pertanyaan besar dan ada apa hal tersebut harus terjadi, tetapi yang jelas Allah memiliki alasan yang mungkin cukup hikmah atas kenapa Al-Qur’an kenapa harus diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan hal itulah akan kita kupas dalam buku karangan DR. Ingrid Mattson.
            Diawali dengan bagaimana kesejarahan Al-Qur’an yang mana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad itu tidak langsung turun secara sekaligus sebagai kitab, “akan tetapi Al-Qur’an itu di turunkan secara bertahap, ayat demi ayat selama dua puluh tiga Tahun, kemudian ayat terebut dikumpulkan menjadi sebuah himpunan Ayat-Ayat Al-Qur’an dengan jumlah surah 144 Surah. Namun tetapi hal tersebut tidak disebutnya bagaimana Kronologi turunnya ayat-ayat tersebut, namun tentu saja hal ini akan membuat kaum muslim tertarik untuk mengakji hal tersebut, namun pada kontek proses turunnya wahyu juga perlu dipahami agar dapat menarik sebuah hukum atau setidaknya dapat mengambil pelajaran dari hal tersebut secara hikmah, namun yang jelas butuh pemahaman yang lebih mendalam baik pemahaman secara kontektual maupun secara.
            Meskipun demikian Al-Qur’an tidak memaparkan bagaimana kehidupan Muslim pertama dan kehidupan Rasul pada umumnya dan lain sebagainya tentang hal itu, tetapi dalam beberapa dekade ada banyak karya-karya yang muncul yang berkaitan dengan kesejarahan Nabi dengan berbagai versi,walaupun pada akhirnya muncul kontroversial dari kalangan sarjana kontemporer, yang mana mempermasalahkan tetntang bagaimana penulisannya dan sumber literturnya karena alasan kelangkaan rujukan sumber, tentu saja meragukan keaslian dan keatutentikan dokumen diragukan.
Dan hal inilah membuat ilmuan muslim menjadi lebih hati-hati lagi dalam menjaga ke autentikan sumber terbukti telah banyak lahir ilmu Ulumul Hadis, Usul Fiqh dan lain-lain hal ini berguna menjaga keautentikan sebuah dokumen. Meskipun ada fenomena perbedaan yang terjadi dikalangan umat Islam Sunni dan Syi’ah yang berbeda dalam memberikan pandangan baik dalam tafsir,historis,hukum dan teologi. Meskipun demikian bahwa perdebatan tersebut tidak menafikan kenyataan yang terjadi dalam peristiwa besar dalam kehidupan Nabi yang terhimpundalam tradisi umat Islam terdahulu dan diakui sebagai fakta sejarah.
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menggambarkan kondisi psikis Nabi ketika memulai dakwah, sebagai gambaran bahwa nabi mengalami ketakutan ketika malaikat mendekapnya dengan selimut, dan ulama berpendapat bahwa Allah menyuruh nabi untuk bangun dan memulai melakukan dakwahnya.dan hal yang lain ketika Ayat-ayat diterjemahkan memunculkan kesesuaian antara nada ayat dan maknanya, karenanya Al-Qur’an sangat terkait erat dengan maknanya dan itulah membuat orang tertaik ketika mendengarkan ayat-ayat dibacakan,namun Tuahan juga menyampaikan Ayat-ayat Al-Qur’an dengan nada yang lembutdan lebih akrab yang menentramkan hati, meskipun ada awal wahyu dturunkan tidak sedikit yang menolak sebagai firman Allah dan merendahkannya.
Maka dari itu Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad perintah pertama kali bagaimana tentang membaca dan berTuhan atau bertauhid, yang selama ini terjadi di masyarakat Arab yakni menyebah berhala sebagai ajaran nenek moyangnya, pada hal zaman itu sudah pernah ada Nabi yang juga mengajarkan tentang ketauhidan yakni menyembah Tuhan yang Esa, yang mengajarkan pada manusia merdeka berhukum dan bermoral dalam kehidupan sosial yang seharusnya mendajdi tujuan akhir seorang umat yang menghambakan diri hambanya kepada Tuhan yang maha Esa.
Karena dengan bertauhidnya manusia hanya kepada Tuhan yang maha esa ini akan dapat membangun peradaban manusia yang lebih maju dan dapat menjadi sebuah Negara yang kuat dan mandiri sertamakmur dan memiliki semangat bekerja, menuntut ilmu sebuah keharusan untuk mampu menjalankan amanah kekhalifahan sebagai manusia hamba nya Allah dengam menjalankan perintah untuk beribadah kepadanya tanpa memandang orang miskin dan kaya,walaupun pada awal-awalnya diturunkan wahyu mendapat banyak peretentangan tentang kebenaran akan wahyu Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad seperti Abu Lahab dan lain-lain, karena kesabaran Nabi dalam menyebarkan agama Islam maka Allah pun memberikan kemenangan yang besar yakni penaklukkan kota Mekkah tanpa adanya pertumpahan darah, dan tak lama akan kemenangan itu nabi pun Wafat dan langitpun tertutup tidak ada lagi nabi dan wahyu, hal tersebutlah membuat banyak umat muslim ketika itu merasa sedih dan kehilangan.




Pada awal pembahasan penulis berusaha menyajikan sejarah al-Quran dan proses periwayatan- nya yang penuh dengan dilema. Permasalahan mendasar yang dialami oleh para ulama adalah bagaimana cara memahami hubungan antara al-Quran dengan kehidupan masyarakat kala itu, sementara dalam al Quran sendiri lebih banyak membahas tentang peperangan dari pada tentang kehidupan nabi dan masyarakat muslim awal islam. Oleh karena itu, pada akhir abad ke-2 Hijriyah mulai muncul pembukuan biografi kisah nabi dan para sahabat. Namun, para ulama kekinian memperdebatkan sumber autentik dalam penulisan itu, dikarnakan pada awal abad hijriyah dokumen yang menjelaskan perihal tersebut sangat minim. Selain itu, para periwayatnya pun harus diuji karena dikhawatirkan munculnya pemalsuan dalam hadis.
Pada bab ini terkait penelusuran cara pewahyuan al Quran, penulis lebih menekankan pada asbabunnuzul dari pada menggunakan sirah. Dalam buku ini penulis berusaha menyampaikan kepada pembaca bagaimana al-Quran itu datang dengan menyampaikan pesan yang tersirat maupun yang tersurat. Dengan gaya bahasa yang menurut para teolog menunjukkan keagungan Tuhan (mudatstsir, an-driz, kabbir, tahhir, fahjur) dalam surat al-Mudatstsir ayat 1-5, seakan-akan Allah menyampaikan pesan kepada nabi bahwa inilah saat yang tepat untuk berdakwah.
Saat berdakwah, nabi diperintahkan untuk mengesakan bahwa hanya Allah-lah zat yang disembah dan tidak memiliki sekutu. Seperti yang tergambar dalam surah al-Ikhlas ayat 1-3. Surat ini merupakan surah terpendek yang setara dengan sepertiga dari al-Quran. Dalam surah ini Tuhan menyebut dirinya sebagai Allah Zat Yang Maha Esa yang tiada sekutu baginya (pemahaman tuhan dari ajaran nabi Ibrahim sama dengan ajaran nabi Muhammad). Tentu saja masyarakat kala itu lebih banyak yang menentangnya. Bukan permasalahan idiologi melainkan karena ajaran leluhur yang sudah mengakar. Pesan inilah yang kerap disampaikan dalam surah-surah yang tergolong Makkiyah.
Selain itu, dalam surah Makiyah juga banyak menggambarkan tentang keyakinan kaum muslim yang tidak bisa bersanding dengan keyakinan orang kafir. Sehingga masa awal pewahyuan merupakan masa yang sangat berat. Kaum muslim banyak yang ditindas oleh kaum kafir. Mungkin kekerasan ini tidak berdampak langsung kepada nabi yang kala itu masih dibawah perlindungan pamannya Abu Thalib. Namun hal ini tidak berlaku bagi para budak, sebagaimana yang dialami oleh Bilal sebelum dibebaskan oleh Abu Bakar.
Tekanan dari kaum Quraisy begitu dirasakan oleh nabi sepeninggal istri beliau Khadijah dan paman beliau Abu Thalib. Namun, setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, nabi mendapatkan respon positif dari masyarakat kota Yastrib. Mereka berbondong-bondong memeluk islam dan menjalin kerjasama politik. Satu tahun setelah itu, nabi mengajak pengikut beliau yang berada di Makkah untuk pindah ke Yastib yang saat itu berganti nama menjadi Madinah. Dikota itu kaum muslim bebas beribadah.
Tantangan pertama yang harus dihadapi nabi adalah bagamana menjalani peran baru sebagai pemimpin negara dalam membangun tatanan sosial politik yang dapat menaungi semua pihak. Dikota tersebut ada tiga golongan yang mendominasi yakni kaum Muhajirin, kaum Anshor, dan komunitas Yahudi. Sehingga untuk membangun tatanan negara yang elok, nabi membuat sebuah perjanjian yang dikenal dengan “Perjanjian Madinah”. Di dalamnya telah diterangkan berbagai hak dan kewajiban dari ketiga belah pihak. Setelah kaum Muhajirin memiliki pijakan yang kuat dimadinah, mereka bertekad untuk melawan ketidakadilan kaum Quraisy . Oleh karena itu turunlah surah al-Hajj ayat 39-40 yang merupakan ayat pertama yang mengizinkan kaum muslim berperang.
Walaupun pada periode Madinah sarat dengan peperangan, namun fokus utama Madinah adalah membangun komunitas. Sehingga kebanyakan ayat Madaniyah lebih bersifat membangun moral dan ketakwaan masysarakat muslim. Mulai dari ayat tentang zakat, solat berjamaah, waris, pernikahan, dan hal-hal yang tekait kehidupan sosial politik. Selain itu, pesan yang terus diungkap pada ayat Madaniyah adalah selalu mematuhi perintah nabi sebagaimana keharusan mematuhi perintah Tuhan.
Sepuluh tahun setelah nabi hijrah, tepatnya pada tahun 632 M, Nabi Muhammad wafat setelah beberapa lama sakit. Banyak orang yang tidak percaya akan kematian beliau termasuk juga Umar. Namun, Abu Bakar datang untuk menyakinkan Umar dan kaum muslim kala itu dengan membaca Q.S. Ali Imran ayat 144. Inilah kali pertama para sahabat tidak bisa menanyakan penjelasan maknanya al-Quran kepada nabi saat mereka membacanya. Sehingga dengan kepergian Nabi akhir zaman tertutup pula pintu langit untuk menurunkan wahyu.
Dari pemaparan tersebut, al-Quran menunjukan dirinya turun dalam berbagai situati. Mulai dari ayat pertama yang memerintahkan untuk membaca, perintah berdakwah, lalu ketenangan yang dijanjijan Allah, peperangan, konflik, tatanan sosial politik, yang semua ini menunjukan bahwa kebanyakan ayat al-Quran turun karna adanya sebab. Dengan tidak tersusunnya ayat al-Quran secara kronologis, lalu bagaimana cara penyusunan ayat dalam al-Quran yang begitu sinkron antara bahasa dan makna, sementara pembukuan al-Quran telah terjadi berabad-abad setelah wafatnya Rasulullah ?

konsep Karl Popper


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Teori Pengetahuan yang dikembangkan oleh Plato dan Descartes tentang Rasionalisme bahwa dengan akal kita sudah dapat menemukan penegetahuan yang mutlak dan menyatakan bahwa kita tidak akan menemukan pengetahuan yang pasti dalam pengalaman Inderawi. Sebagai reaksi dari teori rasionalisme itu munculah teori Empiris yang berpendapat  bahwa pengalaman inderawi tidak dapat menjelaskan tentang pengetahuan yang lebih jauh tentang Dunia. Dari sinilah muncul aliran Positivisme. Aliran positivism  dan  rasionalisme termasuk empirisme merupakan dua aliran yang bertentangan. Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut terbuka upaya penyangkalan/pembuktian salah (falsifikasi) yang secara terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan.
Salah satunya adalah seorang Karl Raimund Popper, yang pada tahun 1934 menggebrak dunia filsafat sains dengan bukunya The Logic of Scientific Discovery. Dalam bukunya tersebut, Karl Raimund Popper melakukan kritik terhadap kecenderungan metodologi sains di masa itu yang didominasi oleh Positivisme. Dalam buku tersebut, alih-alih menekankan pada prinsip verifikasi-pembuktian dengan fakta-fakta empiris­­­ untuk mendukung sebuah teori sains, Karl Raimund Popper malah mengajukan sebuah gagasan yang menarik mengenai falsifikasi. Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran teori lewat fakta-fakta.
B.     Rumusan Masalah
-          Bagaimana riwayat hidup Karl R. Popper ?
-          Bagaimana Epistimologi Falsifikasi Karl R. Popper ?
C.    Tujuan
-          Mengetahui riwayat hidup Karl R. Popper
-          Mengetahui epistimologi Falsifikasi Karl R. Popper



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Karl R. Popper
Karl Reimund Popper adalah salah satu filsuf sains terbesar abad ke-20 yang lahir di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli 1902 dan meninggal di London, Inggris pada tanggal 17 September 1994 di usia 92 tahun akibat serangan jantung. Ia merupakan anak bungsu dari orang tua kelas menengah berkebangsaan Yahudi.[1] Tetapi tidak lama setelah mereka menikah mereka berdua dibabtis dalam gereja Protestan, seperti halnya orang yahudi lainnya yang berasimilasi dengan masyarakat pribumi Austria. Ayahnya, Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang sarjana hukum dan pengacara yang sangat berminat pada filsafat, sosial, dan politik. Perpustakaannya yang cukup luas mencangkup kumpulan karya filsuf-filsuf besar dan karya-karya mengenai problem sosial. Sepertinya Karl popper mewarisi minatnya pada filsafat dalam problem sosial dari sang ayah.[2] Seperti banyak keluarga di Wina, dalam keluarga Popper pun music memainkan peranan penting dan khususnya ibunya amat berbakat pada music dan pandai bermain piano. Jadi, tidak kebetulan juga kalau dalam reflesi filosofi Karl Popper nanti music mendapat perhatian juga.[3]
Pada umur 16 tahun Karl Popper meninggalkan sekolahnya Realgymnasium dengan alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu pada tahun 1918 ia menjadi pendengar bebas pada Universitas Wina. Dia tidak mendaftar secara formal di universitas itu. Baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa resmi.[4] Karl Popper menjadi anggota perkumpulan para murid sekolah menengah yang beraliran sosialis. Tetapi ia juga sering datang di pertemuan mahasiswa sosialis dengan pembicara dari partai sosial demokrat maupun dari partai komunis. Selama dua atau tiga bulan dalam tahun 1919 ia menganggap dirinya seorang komunis. Namun, dengan cepat pula ia kecewa dengan kaum komunis dan Marxisme dikarnakan penembakan terhadap segerombol sosialis muda. Hal ini terjadi akibat hasutan dari kaum komunis untuk membantu beberapa orang komunis lainnya melarikan diri dari ruang tahanan di Markas Polisi di Wina. Dalam peristiwa itu beberapa orang sosialis dan komunis tewas. Popper merasa bersalah akan kejadian tersebut. Karena sebagai seorang komunis ia merasa ikut bertanggung jawab terhadap peristiwa itu.
Dengan begitu pada umur 17 tahun, Popper menjadi seorang anti-Marxis. Dan perjumpaannya dengan Marxisme, diakui olehnya sebagai satu di antara peristiwa penting dalam perkembangan intelektualnya. Hal itu mengajarkan kepadanya beberapa hal yang tak pernah ia lupakan. Dari itu ia menarik pelajaran tentang kebijaksanaan ucapan Socrates (Saya tahu bahwa saya tidak tahu) ”Ia membuatku menjadi seorang fallibilis dan menekankan padaku nilai kejatmikaan intelektual. Dan 1a membuatku sangat menyadari Perbedaan antara pikiran dogmatis dan kritis” kata Popper.[5]
Dalam otobiografinya ia bercerita bahwa ia mengikuti aneka macam kuliah : tentang sejarah, kesusastraan, psikologi, filsafat, bahkan tentang ilmu kedokteran. Tetapi sesudah beberapa waktu ia memutuskan untuk tidak ikut kuliah kecuali matematika dan fisika toeritis karena ia merasa akan lebih berguna jika membaca buku-buku para dosen dari pada harus duduk di bangku sckolah mengikuti pengajaran mereka. Pada tahun 1928 ia meraih gelar P.hD dalam bidang filsafat dengan suatu disertasi tentang Zur Methodenfrage der Denlepsychologie (Masalah metode dalam psikologi pemikiran).[6]
Pada tahun yang sama yakni tahun 1919 Popper terkesan pada pemikiran Einstein tentang gaya berat dan kosmologi baru yang merupakan perbaikan atas Newton.[7] Ia mendengar ceramah Einstein di Wina. Ia terpukau dengan sikap Einstein terhadap teorinya sendiri. Einstein menganggap bahwa teorinya tidak dapat dipertahankan kalau gagal dalam uji coba tertentu. Sikap ini yang berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi (pembenaran) terhadap teori-teorinya. Jadi pada akhir tahun 1919, Popper sampai pada kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis, yang tidak mencari pembenaran melainkan harus dengan pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya. Gagasan inilah yang berperan penting dalam buku pertamanya Logik der Forschung yang terbit pada tahun 1934.
Popper tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina dan tidak pernah juga menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh kelompok tersebut. Tapi ia kenal banyak dengan anggota dari Lingaran Wina yang bekerja di universitas dan beberapa diantara mereka memiliki kontak pribadi seperti Viktor Kraft dan Herbert Feigl. Popper sendiri menganggap dirinya sebagai salah seorang kritikus yang paling tajam terhadap gagasan-gagasan Lingkaran Wina.[8]
Filsafat pengetahuan Popper pertama kali terbit  pada tahun 1934 adalah Logile der Forschung (Logika penelitian). Sebetulnya karya ini merupakan ringkasan dari suatu buku dalam dua jilid, sebab penerbit tidak bersedia menerima buku setebal itu. Sehingga buku yang dari tahun 1934 itu baru diterbitkan dalam bahasa inggris pada tahun 1959 dengan judul  The Logic of Scientific Discovery dengan beberapa tambahan dan diterjemahan oleh Popper sendiri. [9]  Buku tersebut disambut baik sampai di luar perbatasan Austria. Dengan begitu Popper menjadi seorang filsufternama. Ia mendapat banyak undangan untuk memberi ceramah atau kuliah di luar negeri dan pada tahun 1935 dan 1936.
Pada bulan Maret tahun 1938 tentara Jerman yang berada di bawah pimpinan Hitler pun berhasil menduduki Austria. Karena peristiwa tersebut, Popper pun pindah keluar negeri. Pada tahun I937 ia mulai bekerja pada universitas Di Christchurch, Selandia Baru.  Disinilah pada tahun 1945  ia menerbitkan dua buku karangannya dalam bahasa inggris terkait tentang Elsafat sosial dan politik.[10] Yang pertama berjudul The Poverty of Historicism dan yang kedua meliputi dua jilid yang berjudul The Open Society and its Enemies. Ada hubungan erat antara dua karya ini. The Poverty of Historicism merupakan suatu pcrcobaan untuk mcnerapkan gagasan-gagasannya tentang metode ilmiah pada ilmu pengetahuan sosial. Sedangkan buku kedua, The open Society and its Enemies memberi analisa dan kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh yang menurut dia termasuk historisismc yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Sesudah perang dunia kedua selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London School of Economics, sebuah institut yang berada di bawah naungan Universitas London. Di sini ia mempersiapkan suatu buku yang menguraikan perkembangan pemikirannya sejak buku pertamanya  di tahun 1934. Buku ini diharapkan terbit pada tahun 1954 dengan rancangan judul Postcript : After Twenty Years. Tetapi karena waktu itu ia mengalami penyakit mata, buku ini tidak sampai terbit. Baru pada  tahun 1982 karya ini diterbitkan dalam tiga jilid, masing-masing berjudul : Realism and the Aim of Science, The Open Universe: an Argumentfor Indeterminism, dan Quantum Theory and the Sthism in Physics.[11]
Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Open Society and Its EnemiesI dan II (1945); The Logic of Scientific Discovery (1959); Conjectures and Refutations: The Growt of Scientific Knowledge An Evolutionary Approach (1963); The Philosiphy of Karl Popper (1974); Unended Quest; dan The Self and Its Brain.[12]
B.     Epistimologi Falsifikasi Karl R. Popper
Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, oleh beberapa penulis pemikiran Popper ini sering dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu masalah induksi, masalah demarkasi, dan masalah dunia ketiga. Ia memang tidak sependapat dengan keyakinan tradisional tentang “induksi”, dan menyatakan bahwa tak ada sejumlah contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Begitu pula dengan masalah verifikasi yang diyakini oleh lingkaran wina. Bagi dia falsifikasi atau juga disebut falsifiabilitas adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat, antara ilmu dengan yang bukan ilmu. Secara historis, Popper lebih dahulu memecahkan problem demarkasi (sekitar tahun 1919) dari pada problem induksi. Namun karena setelah kita memecahkan problem induksi dulu baru bisa melihat pentingnya problem demarkasi,[13] maka dalam pembahasan ini problem induksi dibahas terlebih dahulu.
1.      Masalah Induksi dan Kritik Karl Popper
Secara historis metode induksi sudah dimulai oleh Aristoteles. Ia menggunakan istilah induksi untuk mengacu ke proses pemikiran dengan bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal yang khusus untu menyimpulakan pengetahuan yang umum.[14] Pandangan ini sudah diterima secara luas dan sebagai penanda dari ilmu ilmu empiris.[15] Untuk melihat operasional metode induksi beserta syarat-syaratnya telah dicontohkan oleh Thomas Henry Huxley berikut ini:
 “Anggaplah kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel. Kita ambil sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil sebuah yang lain, itu pun keras, hijau, dan masam. Si pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi, belum mencicipinya, kita memerhatikannya dan terbukti yang itu pun adalah keras dan hijau, dan seketika itu kita beritahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti masam, seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi”.
Kalau dirumuskan penalaran diatas menurut Hulxley sebagai berikit :
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Semua apel keras dan hijau adalah masam.[16]

Indikasi seperti ini sesuai dengan definisi Aristoteles yaitu proses peningkatan dari hal yang bersifat individual ke hal yang bersifat umum. Induksi seperti ini disebut dengan generalisasi. Akan tetapi penalaran pembeli tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk lain sebagai berikut (analogi induktif) :
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 keras dan hijau.
Apel 4 adalah masam.[17]

Salah satu tema pertama yang menarik dalam pemikiran Popper ini adalah pendapatnya tentang masalah induksi dalam ilmu pengetahuan alam. Dalam pemikiran modern selalu dikatakan bahwa tugas ilmu pengetahuan modern ialah merumuskan hukum-hukum yang bersifat umum dan mutlak perlu. Misalnya seperti contoh sederhana "semua apel keras dan hijau adalah masam" merupakan suatu hukum. Lalu bagaimana hukum ilmiah serupa itu sampai terbentuk ?. Jawaban tradisional yang diberikan oleh para teoretisi ilmu pengetahuan ialah bahwa hukum itu dihasilkan oleh suatu proses induksi. Artinya, dari sejumlah kasus yang cukup besar (apel-apel yang keras dan berwana hijau memiliki rasa masam) dapat disimpul kan bahwa dalam keadaan yang tertentu gejaia yang sama selalu dan di mana-mana akan terjadi demikian. Dari sejumlah kasus konkrit disimpulkm suatu hukum yang bersifat umum. Metode induktif ini dijalankan dengan observasi dan eksperimentasi. Pendek kata, metode ini berdasarkan fakta-fakta.
Bagi para teorerisi, teori induksi ini bukan tanpa kesulitan. Filsuf yang pertama menggarisbawahi kesulitan-kesulitan itu adalah orang Skodandia yang bemana David Hume (1711-1776). la menekankan bahwa dari sejumlah fakta – betapapun besar jumlahnya – secara logis tidak pernah dapat disimpulkan suatu kebenaran umum. Tidak pernah ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang sampai sekarang selau berlangsung dengan cara yang sama, besok juga akan terjadi dengan cara demikian.[18] Misalnya tidak ada kepastian logis bahwa besok pagi matahari akan terbit. Kita berpikir demikian karena suatu kecenderungan psikologis, bukan karena suatu keharusan logis. Kalau memang demikian halnya, maka seluruh ilmu pengetahuan bertumpu pada suatu prinsip (yakni induksi) yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh kebanyakan ilmuwan, Situasi ini tidak diambil pusing, karena ahli-ahli ilmu pengetahuan sama sekali tidak terganggu oleh ketidakpastian teoretis tadi. Tetapi bagi Filsafat ilmu pengetahuan di sini terletak suatu masalah yang sampai sekarang belum terpecahkan.
Karl Popper mengakui bahwa ia mendekati problem induksi melalui Hume. Popper merasakan benar bagaimana Hume sangat tepat ketika menunjukan bahwa metode induksi tidak dapat dijustifikasi secara logis. Meskipun Popper mengakui penolakan Hume terhadap metode penalaran logis dan konklusif, namun ia sangat tidak puas dengan penjelasan psikologis Hume ke dalam istilah adat atau kebiasaan. Dalam analisis Popper, kritik yang dilontarkan Hume terhadap metode induktif lebih bersifat psikologis ketimbang menyungguhkan sebuah teori filosofis. Sebab Hume berusaha menguraikan sebuah penjelasan sebab-akibat berdasarkan sebuah fakta psikologis.[19]
Dalam bukunya Logika Penemuan Popper mengemukakan bahwa : “alasan utama saya untuk menolak logika induktif tepatnya adalah bahwa ia tidak dapat memeberikan tanda perbedaan yang jelas untuk karakter empiris, non-metafisik, dari karakter sistem teoritis, atau dengan kata lain, bahwa ia tidak memberikan 'kriteria demarkasi' yang cocok”.[20] Berdasarkan ketidakpuasan tersebut, popper melakukan kritik terhadap metode induktif yang dia formulasikan secara filosofis-empiris. Popper telah berhasil menyodorkan suatu pemecahan bagi masalah induksi dan mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu pengetahuan. Menurut dia suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena sudah dibuktikan, melainkan karena dapat diuji. Ucapan seperti ”Semua logam akan memuai kalau dipanaskan” dapat dianggap ilmiah, kalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Seandainya kita dapat menunjukkan satu jenis logam yang tidak memuai setelah dipanaskan, maka ucapan itu ternyata tidak benar dan harus diganti dengan ucapan lain yang lebih tepat.
Perlu diperhatikan bahwa keputusan yang positif hanya dapat mendukung teori sementara saja (karena bisa saja terjadi yang berikutnya adalah negative). Jadi selama sebuah teori dapat melalui pengujian-pengujian terperinci dan tidak dikalahkan oleh teori lain dalam proses kemajuan ilmiah, kita dapat mengatakan bahwa teori tersebut telah terbukti kebenarannya atau dikuatkan/dikoroborosikan oleh pengalaman masa lalu. Dalam buku Logika Penemuan Popper mengatakan bahwa : “Saya tidak pernah menganggap bahwa kita bisa berdebat dari kebenaran pernyataan tunggal untuk kebenaran teori. Saya tidak pernah menganggap bahwa dengan kekuatan kesimpulan yang sudah diverifikasi, teori dapat ditetapkan sebagai benar, atau bahkan hanya sebagai mungkin.[21]
Secara singkat itulah yang disebut Popper sebgai the thesis of renatability (suatu ucapan atau hipotesa bersifat ilmiah kalau secara prinsipial terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya). Atau dengan perkataan lain, perlu adanya kcmungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan menakuti kritik. Sebaliknya, ia sangat mengharapkan kritik, sebab hanya melalui jalan kritik ilmu pengetahuan dapat maju.
Untuk mencapai pandangan ini, Popper menggunakan suatu kebenaran logis yang sebenarnya sederhana sekali. Dalam perkataan Popper sendiri: “Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih – berapapun jumlahnya – orang tidak dapat sampai pada teori bahwa semua angsa berwarna putih. Tetapi cukuplah satu obsenvasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal teori tadi”.[22]
Pandangan tentang ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada metode induktif sebenarnya berusaha membuktikan bahwa semua angsa berwarna putih. Sedangkan Popper beranggapan bahwa ilmu pengetahuan harus berusaha mencari satu ekor yang tidak berwarna putih. Selama angsa hitam itu belum ditemukan, maka pernyataan “Semua angsa bcrwama putih” dapat dianggap benar. Dengan pendekatan ini Popper membuka perspektif baru bagi ilmu pengetahuan, yang sama sekali berlainan dmgan perspektif yang berdasarkan konsepsi induksi.
Berulang kali Popper menjelaskan bahwa fisika baru Einstein telah menghantarkannya pada konsepsi tentang ilmu pengetahuan yang dilukiskan tadi. Sebelumnya sudah lebih dati dua abad dunia ilmiah dikuasai oleh pandangan fisika Newton. Banyak sekali penemuan ilmiah telah terjadi berdasarkan fisika Newton itu. Akhirnya semua ilmuwan sudah yakin akan kebenaran fisika Newton. Sebenarnya fisika ini sudah dinyatakan dengan seribu satu cara.
Namun demikiam pada awal abad kita ini Einstein mengemukakan suatu fisika baru. Semua fakta yang telah diterangkan oleh fisika Newton dapat diterangkan pula dalam rangka fisika Einstein, ditambah lagi beberapa fakta yang didiamkan oleh Newton. Sesudah diskusi beberapa waktu, para ahli sepakat menerima fisika Einstein lebih memuaskan daripada fisika lama Newton untuk menerangkan gejala-gejala fisis dalam dunia kita. Bagi Popper, perkembangan ini merupakan contoh paling jelas yang memperlihatkan bagaimana cara bertumbuhnya ilmu pengetahuan.[23] Suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif. Lebih baik dikatakan kita semakin mendekati kebenaran, karena teori-teori kita menjadi lebih terperinci. Selalu kita harus rela meninggalkan suatu teori, jika muncul teori lain yang ternyata lebih memuaskan untuk mengerti fakta-fakta.
2.      Masalah Demarkasi dan Rasionalisme Kritis
Proses pemikiran Popper selanjutnya adalah berupaya untuk  mengkritisi problem demarkasi dalam wacana saintifik. Ia hendak menyelidiki sekaligus membedakan antara sains sejati dengan sains semu, atau antara sains dan metafisika. Menurut Bertens, Popper menyuguhkan kriteria demarkasi antara sains dengan metafisika sebagai kritik terhadap para filsuf aliran neopositivisme dari Iingkaran Wina, Austria. Salah satu hal yang banyak merepotkan para anggota Lingkungan Wina ialah percobaan untuk merumuskan apa yang disebutnya “prinsip verifikasi”, artinya prinsip yang memungkinkan untuk membedakan antara ilmu pengetahuan empiris dan metaflsika.[24]
Dalam buku Logika Penelitian dan karangan-karangan lain Popper mengkritik usaha yang dilakukan oleh Lingkaran Wina. Menurut dia, usaha Lingkaran Wina tersebut masih berkaitan erat dengan konsepsi tentang ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi induksi. Beberapa unsure kritis yang dikemukakan oleh Popper adalah sebagai berikut :
Pertama, ia menekankan bahwa dengan digunakannya prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Tetapi kalau begitu, harus diakui juga bahwa – seperti halnya dengan metafisika – seluruh ilmu  pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum) tidak bermakna!. Kedua, berdasarkan prinsip verifikasi metafisika tidak bermakna. Tetapi dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metaflsika atau mistis tentang dunia (sebagai contoh boleh disebut gagasan metaflsis seperti atomisme Leukippos dan Demokritos). Suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna, tetapi dapat benar juga, biarpun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu kita harus mengerti ucapan atau teori itu. Tetapi bagaimana kita dapat mengerti suatu teori, jika teori itu tidak mengandung makna? Karena alasan-alasan serupa itu Popper menolak usaha neopositivisme untuk menetapkan suatu prinsip verifikasi.[25]

Perlu ditambah lagi bahwa dalam hal ini maksud Popper sering kali salah dimengerti. Kritiknya sering kali ditafsirkan bukan sebagai penolakan melainkan sebagai koreksi saja atas prinsip verifikasi dari neopositivisme atau  positivism logis. Kalau begitu, orang berpikir bahwa koreksi Popper ialah digantikannya prinsip verifikasi dengan prinsip falsifikasi. [26] Jadi bagi Popper, problemnya ialah apa yang disebutnya masalah demarkasi (the problem of demarcation): Bagaimana kita dapat menarik garis pemisah antara bidang ilmiah dan bidang nonilmiah, dan antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan. Atas pertanyaan itulah ia menjawab bahwa suatu teori atau ucapan bersifat ilmiah, kalau terdapat kemungkinan prinsipiil untuk menyatakan salahnya. Itulah yang dimaksud sebagai “prinsip falsifiabilitas”. Suatu teori yang secara prinsipiil mengeksklusikan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu, menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah.[27]
Sementara bagi positivisme logis masalah demarkasi ialah: Bagaimana kita dapat menarik suatu garis pemisah antara ucapan-ucapan yang bermakna dan ucapan-ucapan yang tidak bermakna. Dan dengan bantuan prinsip verinkasi mereka menjawab bahwa, selain dari tautologi-tautologi (yaitu ucapan-ucapan logika dan matematika) hanyalah bermakna ucapan-ucapan ilmu pengetahuan empiris, semua ucapan lain – yang mereka singkatkan dengan nama “metafisika” – tidak bermakna.[28]
Peru dicatat bahwa menurut pendirian Popper ini bukan saja ucapan-ucapan metafisis dinyatakan non-ilmiah, tetapi juga misainya astrologi atau ilmu nujum – yang tentu berpretensi mempunyai dasar, empiris – dan lebih penting lagi, teori-teori yang sepintas lalu nampaknya ilmiah seperti psikoanalisa Sigmund Freud, psikolog individual Alfred Adler,dan tilsafat sejarah Karl Marx (teori-teori yang ramai dibicarakan di Wina sewaktu Popper masih muda). Teori-teori semacam itu secara sistematis menyingkirkan setiap kemungkinm untuk mengadakan rejictation. Teori-teori itu berpotensi dapat menerangkan segala scsuatu, termasuk juga penolakan terhadap teori-teori itu. Seorang pengikut Freud akan mengatakan bahwa para penentangnya tidak mau menerima ajaran psikoanalisa, karena mereka dikuasai oleh resistensi tak sadar. Demikian pun seorang Marxis akan menjelaskan bahwa kritik yang diajukan melawan ajaran mereka disebabkan karena para kritisi masih diresapi oleh prasangka-prasangka kelas borjuis. Itu tidak berarti bahwa Popper menolak teori-teori itu sebagai sesuatu yang tak benilai, apalagi sebagai tak bermakna. Dalam hal ini ia tentu lebih positif terhadap psikoanalisa daripada terhadap marxisme.
Akhirnya beleh ditambah lagi bahwa Popper bukan saja mengeritik beberapa pendirian positivism logis, melainkan juga aliran yang mengganti positivism logis di Inggris, yaitu falsafat analitis yang mencari inspirasi pada Wittgenstein II (yang seperti Popper besasal juga dari Wina dan mengajar di Inggris tetapi konsepsi fllsafat mereka berdua sangat berbeda). Menurut Popper filsafat tidak beleh membatasi diri pada penjelasan kata-kata saja. Filsafat harus berbicara tentang realitas, tentang dunia. Bahasa berparan sebagai alat dan sebuah alat harus dipakai untuk membuat sesuatu.[29] Filsafat analitis diibaratkan oleh oleh Popper sebagai orang yang terus-menerus membersihkan kacamatanya, tetapi tidak pernah menggunakannya untuk melihat.
Kalau nama "neopositivism” atau ”positivism logis” pasti tidak cocok untuk menunjukkan pemikiran Popper, maka seharusnya kita pakai nama apa untuk filsatnya?. Popper sendiri mengusulkan ”rasionalisme kritis", suatu istilah yang terdiri dari dua unsur yang sama sekali hakiki bagi Popper, yaitu ”rasio” dan ”kritik". Menurut dia salah satu cara terbaik untuk mempraktekkan sikap rasional ialah dengan selalu rela menerima kritik dan senantiasa mengeritik dirinya sendiri. Sikap ini paling baik diungkapkau dengan nama ”rasionalisme kritis”.[30]
Rasionalisme kritis atau sikap kritis inilah yang dikontraskannya dengan sikap dogmatis, yang akhirnya bisa membuka jalan bagi sains sejati dan bagi ilmu-ilmu lainnya. Jika sikap kritis bisa kita identiflkasi dengan sikap saintiflk yang menghasilkan sains hakiki, maka sikap dogmatis bisa kita nisbahkan kepada sesuatu yang kita tuliskan dengan saintik semu. Oleh Zaprulkan ia menurunkan beberapa tesis pemikiran rasionalisme kritis, atau sikap kritis saintiflk Karl Popper dari beberapa karyanya:
Pertama, tidak ada sumber-sumber puncak pengetahuan. Setiap sumber pengetahuan dan setiap saran bersifat terbuka terhadap pengujian kritis. Kedua, secara kuantitatif maupun kualitatif sumber pengetahuan kita yang paling penting, sebagai bagian dari pengetahuan bawaan adalah tradisi. Ketiga, pengetahuan tidak dapat mulai dari kehampaan – dari sebuah tabula rasa, dan tidak juga dari observasi. Keempat, baik observasi maupun akal bukanlah sebuah otoritas. Intuisi intelektual dan imajinasi barangkali merupakan alat paling penting, walaupun keduanya tidak dapat diandalkan keduanya mungkin dapat menunjukkan sesuatu yang jelas, namun keduanya juga bisa menyesatkan kita. Kelima, konsekuensi selanjutnya : setiap solusi yang telah ditemukan dari sebuah problem akan memunculkan problem-problem baru yang belum terjawab. Semakin banyak kita mempelajari tentang dunia, semakin dalam pembelajaran kita. Keenam, tidak ada otoritas manusia yang dapat menetapkan kebenaran secara mutlak. Kebenaran merupakan proses pencarian yang mesti kita upayakan secara tiada henti. Bukan pada otoritas orang-orangnya, melainkan kepada kebenaranlah kita harus menyerahkan diri.[31]

Pada titik inilah, sebagaimana telah disinggung di awal pembahasan, bahwa pemikiran fundamental Popper adalah cerminan dari sikap refleksi diri, sikap kritis terhadap diri sendiri, dan sikap terbuka terhadap segala bentuk kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak mengejutkan bila Popper mengidentiflkasi dirinya dan pemikiran filosofis saintikanya dengan istilah-istilah seperti falsifikasionis, sebagai negativis, filsuf kritis, serta rasionalisme kritis dan sikap kritis. Semua istilah-istilah tersebut melukiskan karakter fundamental pemikiran Filosoflsnya secara luas.
3.      Prinsip Falsifikasi Karl. Popper
Sebagaimana disebutkan dalam uraian pendahuluan di atas bahwa meski Popper banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan para filosuf yang tergabung di lingkaran Wina atau kaum positivism logis, namun ia tidak sependapat dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait dengan tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga. Dalam masalah induksi, Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi yang didasarkan pada prinsip induksi. Misalnya, “Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B”. [32]
Proses induksi melalui observasi seperti inilah yang dipandang oleh kaum positivisme logis sebagai prinsip pembentukan ilmu atau pengetahuan. Proses induksi ini pula yang dijadikan untuk menciptakan hukum umum dan mutlak berdasarkan kriteria kebermaknaan (meaningfull) dan ketidakbermaknaan (meaningless). Bagi kaum positivisme logis kebenaran suatu teori umum dapat ditentukan dan dibuktikan melalui prinsip verifikasi, yakni ditentukan kebermaknaan dan ketidakbermaknaannya berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris.
Selanjutnya proposisi-proposisi ilmu atau pengetahuan tersebut dipandang ilmiah, selain dibangun berdasar prinsip induksi melalui eksperimen atau observasi, juga jika dipandang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan.[33] Suatu pengetahuan adalah ilmiah, misalnya apabila seorang ahli astronomi dapat meramalkan kapan akan terjadi gerhana bula berikutnya, atau bila seorang ahli fisika dapat menjelaskan mengapa titik mendidih air ti tempat yang tinggi lebih rendah daripada di tempat yang normal. Secara sederhana, kebenaran atau keilmiahan suatu pengetahuan atau ilmu.
Gambaran ilmu seperti yang digambarkan oleh kaum positivism logis, atau induktifis ini memberi penegasan yang tampak meyakinkan mengenai sifat dari suatu ilmu atau pengetahuan, yakni selain dayanya yang mampu meramalkan dan menjelaskan, juga adanya sifat keobyektifan dan reliabilitasnya yang lebih unggul dibanding jenis-jenis ilmu atau pengetahuan yang lain. Karena itu, wajar jika gagasan mereka ini begitu meyakinkan dan memiliki penganut yang begitu besar.
Akan tetapi bagi Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi seperti anggapan mereka, tetapi karena dapat diuji dengan melalui berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau suatu teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh. Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya.
Selanjutnya Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan sementara, tidak akan pernah ada kebenaran pasti. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat.[34] Terkait hal ini, ia lebih suka memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang teori, hanya semata-mata didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia menegaskan bahwa suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia memiliki kemungkinan untuk menyangkalnya.
Jika dalam pandangan kaum Positivisme kriteria kebenaran suatu ilmu atau teori didasarkan pada kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris melalui konfirmasi atau verifikasi, maka tidak demikian halnya menurut Popper. Kemudian Popper menawarkan gagasan falsifikasi sebagai penentu demarkasi antara proposisi atau teori yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Gagasan tentang falsifikasi inilah yang oleh dirinya dijadikan sebagai ciri utama proposisi atau teori yang ilmiah.[35] Penerapan falsifikasi seperti ini berdampak pada hakekat perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Popper, kemajuan ilmu pengetahuan tidak bersifat akumulatif dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salahnya.
4.      Teori Tentang Dunia Ketiga
Selain persoalan induksi dan demarkasi sebagaimana dijelaskan di atas, Popper juga membicarakan tentang masalah dunia ketiga. Yang dimaksud dengan istilah dunia ketiga di sini bukan dalam pengertian politik, tetapi epistemologis. Artinya Popper membedakan realitas menjadi apa yang dia sebut sebagai; dunia kesatu yang berupa kenyataan-kenyataan fisik yang ia sajikan kepada panca indra, dunia kedua yang berupa segala kejadian dan kenyataan psikhis dalam diri manusia; dan dunia ketiga yang berupa hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerjasama antara dunia kesatu dan dunia kedua serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisika, agama, dan lainnya.[36]
Menurut Popper, dunia ketiga ini hanya ada selama dihayati yakni dalam kegiatan studi yang sedang berlangsung seperti membuat karya atau penelitian, dalam kegiatan membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri seorang seniman atau penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka. Setelah penghayatan seperti itu, semuanya langsung mengendap dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah, buku-buku, karya seni, dan seterusnya. Sehingga dunia ketiga meliputi seluruh cakrawala kebudayaan manusia. Dengan demikian, apa yang telah dihayati terkait keberadaan dunia ketiga, menjadi mengendap ke dalam dunia kesatu, dan akan muncul kembali ke dalam dunia ketiga setelah melalui perhatian di dunia kedua. Dalam pandangan Popper, dunia ketiga memiliki kedudukan dan otoritasnya sendiri dan tidak terikat oleh dunia kesatu ataupun dunia kedua.[37]
Tetapi Popper tidak mau menganggap dunia ketiga ini sebagai semacam dunia Idea gaya Plato. Seperti yang dijelaskan diatas ia beranggapan bahwa dunia ketiga merupakan buah hasil aktivitas rob manusiawi. Kita manusia menciptakan obyek-obyek dari dunia ketiga, tetapi setelah dihasilkan dunia ketiga ini berdiri sendiri.[38] Jika kita menerima adanya dunia ketiga, maka menurut Popper terbukalah banyak perspektif baru dalam filsafat, khususnya epistimologi. Filsafat pengetahuan sampai sekarang terlalu terpusatkan pada dunia kedua.  Menurutnya studi tentang dunia ketiga dapat menyumbang banyak untuk memahami lebih baik tentang dunia kedua, sedangkan studi tentang dunia kedua tidak menghasilkan banyak pemahaman untuk mengerti wilayah dunia ketiga.
Melalui pemikirannya tentang dunia ketiga seperti ini, tampaknya Popper ingin menghindari dua hal yang ekstrim, yakni pandangan obyektifisme yang memandang hukum alam ada pada kenyataan fisik dan pandangan subyektifisme yang beranggapan bahwa hukum alam adalah dimiliki dan dikuasai oleh manusia. Menurutnya, manusia terus bergerak semakin mendekati kebenaran. Melalui proses falsifikasi, manusia akan menemukan kesalahan yang ada pada sebuah teori atau ilmu, lalu teori atau ilmu yang salah akan ditinggalkannya dan digantikannya dengan yang baru. Demikian seterusnya hingga aktifitasnya semakin mendekati kepada kebenaran.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Karl R. Popper untuk menolak gagasan positivism dari kaum lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan Popper menolak ini adalah karena dalam logika induktif ia tidak dapat memeberikan tanda perbedaan yang jelas untuk karakter empiris, non-metafisik, dari karakter sistem teoritis, atau dengan kata lain, bahwa ia tidak memberikan kriteria demarkasi yang cocok. Oleh beberapa penulis pemikiran Popper sering dikelompokkan menjadi tiga tema, yaitu masalah induksi, masalah demarkasi, dan masalah dunia ketiga. Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, oleh beberapa penulis pemikiran Popper ini sering dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu masalah induksi, masalah demarkasi, dan masalah dunia ketiga. Secara historis, Popper lebih dahulu memecahkan problem demarkasi (sekitar tahun 1919) dari pada problem induksi.
B.     Saran
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang Epistimologi Falsifikasi dari Karl Raimund Popper, dan sekiranya ada kesalahan kata mohon kemakluman pembaca. Selain itu penulis juga meminta kritik dan saranya yang sifatnya membangun terhadap evaluasi penulis selanjutnya.



Daftar Pustaka

Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX : Inggris-Jerman. (Jakarta : Gramedia)
Karl R. Popper. 2011. Logika Penemuan Ilmiah. Tranlated by Armstrong F. Sompotan dkk.  (Bandung : Perpustakaan Sains Kebumian ITB)
Komarudin. 2014. Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya Penerapannya Dalam Keilmuan Islam. Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2.
Taryadi, 1991. Alfons. Epistimologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama)
Thornton, S. P. 2006. Karl Reimund Popper. In J. P. Sahotra Sarkar, The Philosophy of Science : an Encyclopedia. (New York : Routledge, Taylor & Fransic Group)
Zaprulkhan. 2016. Filsafat Ilmu : Sebuah Analisis Kontemporer. (Jakarta : RajaGrafindo Persada)


[1]   Thornton, S. P. Karl Reimund Popper. In J. P. Sahotra Sarkar, The Philosophy of Science : an Encyclopedia. (New York : Routledge, Taylor & Fransic Group, 2006). h.572
[2]   Taryadi, Alfons. Epistimologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991). h.1
[3]   Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX : Inggris-Jerman. (Jakarta : Gramedia, 1983). h. 67
[4]   Taryadi, Alfons. Epistimologi Pemecahan…, ibid. h. 1
[5]   Ibid. h. 2
[6]   Bertens, K. Filsafat Barat…, ibid. h. 69
[7]   Taryadi, Alfons. Epistimologi Pemecahan…, ibid. h. 5
[8]   Bertens, K. Filsafat Barat…, ibid. h. 69
[9]   Ibid.
[10]  Ibid.h. 70
[11]   Ibid.
[12]  Komarudin. Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya Penerapannya Dalam Keilmuan Islam. Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014. h. 449
[13]  Taryadi, Alfons. Epistimologi Pemecahan…, ibid. h. 35
[14]  Zaprulkhan. Filsafat Ilmu : Sebuah Analisis Kontemporer. (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2016). h. 132
[15]  Taryadi, Alfons. Epistimologi Pemecahan…, ibid. h. 35
[16]  Zaprulkhan. Filsafat Ilmu.., Ibid. h.135
[17]  Ibid. h.136
[18]  Ibid, h. 138
[19]  Ibid.
[20]  Karl R. Popper. Logika Penemuan Ilmiah. Tranlated by Armstrong F. Sompotan dkk.  (Bandung : Perpustakaan Sains Kebumian ITB, 2011). h. 14
[21]  Karl R. Popper. Logika Penemuan…, ibid. h. 13
[22]  Bertens, K. Filsafat Barat…, ibid. h. 73
[23]  ibid. h. 74
[24]  Zaprulkhan. Filsafat Ilmu.., Ibid. h.142
[25]  Ibid. h.142-143
[26]  Bertens, K. Filsafat Barat…, ibid. h. 75
[27]  Zaprulkhan. Filsafat Ilmu.., Ibid. h.143
[28]  Ibid.
[29]  Bertens, K. Filsafat Barat…, ibid. h. 76-77
[30]  ibid. h. 77
[31]  Zaprulkhan. Filsafat Ilmu.., Ibid. h.147-148
[32]  Komarudin. Falsifikasi Karl Popper…, ibid. h. 449
[33]  ibid. h. 450
[34]  ibid.
[35]  ibid. h. 453
[36]  ibid. h. 456
[37]  ibid.
[38]  Bertens, K. Filsafat Barat…, ibid. h. 78